Deforestasi yang
terjadi di propinsi Riau. Foto: Rhett Butler
Sekitar setengah dari hilangnya hutan alam Indonesia terjadi di luar kawasan konsesi, sesuai dengan laporan hasil penelitian terbaru yang dikeluarkan oleh Forest Watch Indonesia pada akhir Desember 2014. Hal ini bisa disimpulkan bahwa tingkat deforestasi di Indonesia lebih tinggi untuk tempat-tempat dimana skor tata kelola hutannya buruk. Tidak seperti laporan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan, data di dalam laporan ini meliputi daerah di luar kawasan hutan.
Temuan ini sangat
menggelisahkan karena menunjukkan bahwa tutupan hutan di Indonesia kini turun
menjadi 46 persen luas daratan, turun 2,5 poin persen sejak 2009. Hutan alam di
Indonesia kini seluas 82.500.000 hektar, lebih dari setengahnya hanya ada tiga
provinsi: Papua, Kalimantan Timur (termasuk Kalimantan Utara), dan Kalimantan
Barat.
Analisis Forest Watch
Indonesia menyimpulkan bahwa hutan alam di Indonesia rata-rata berkurang
917.000 hektar per tahun antara 2009 dan 2013, jauh di atas angka yang
diberikan oleh Kementrian Kehutanan. Lebih dari 3/5 dari kehilangan tersebut
yang terjadi di Kalimantan dan Sumatera.
Data di laporan
tersebut juga menunjukkan bahwa hampir setengah dari hilangnya hutan alam
Indonesia terjadi di luar areal konsesi. Laporan tersebut memang tidak
menyebutkan penyebab deforestasi di daerah non-konsesi, tetapi umumnya faktor
penyebab adalah pertanian, kelapa sawit, karet dan kebakaran biasanya adalah
pendorong utama.
Dalam area konsesi,
deforestasi disebabkan oleh pengembangan perkebunan kelapa sawit, hutan
tanaman, dan daerah pertambangan. Area HPH (IUPHHK) memiliki tingkat
deforestasi terendah meskipun mencakup wilayah terbesar dari hutan alam.
Sementara itu di area HTI dan perkebunan kelapa sawit tutupan hutan berkurang
signifikan dengan presentase terbesar.
Forest Watch Indonesia
juga melihat penyebab mendasar terjadinya deforestasi di Indonesia: yakni
buruknya tata kelola hutan. Di lima tempat, Forest Watch Indonesia
membandingkan indeks deforestasi dengan indeks pengelolaan hutan. Dari situ
ditemukan bahwa “daerah dimana indeks tata kelolanya rendah memiliki area yang
sudah ‘gundul’ paling luas dibandingkan daerah lain”, yang menunjukkan bahwa
“tata kelola hutan yang buruk mempercepat degradasi sumber daya hutan”.
Di sektor
pemerintahan, laporan ini juga mendokumentasikan praktek-praktek yang
patut dipertanyakan dalam sektor kehutanan, salah satunya adalah 58 persen dari
kawasan konsesi aktif gagal memperoleh baik sertifikasi keberlanjutan ataupun
sertifikasi legalitas. Perusahaan perkebunan kayu hanya menanam sebagian kecil
dari hutan yang sudah mereka buka.
Masalah mendasar, kata
laporan itu, adalah jajaran birokrasi yang diberi tugas mengelola hutan
Indonesia.
“Masalah Kehutanan
menjadi semakin kompleks dengan tingkat kapasitas di level bawah,
termasuk ketidakselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah,” tulis
laporan tersebut. “Sejumlah isu kehutanan tidak segera diselesaikan karena
pemerintah (seperti Kementrian Kehutanan) tidak memprioritaskan penyelesaian
akar penyebab masalah-masalah kehutanan ini.”
Forest Watch Indonesia
menyebutkan isu tata kelola hutan ini menjadi isu utama dalam rangka
memperbaiki sektor kehutanan Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah
program-program untuk menyelesaikan konflik kehutanan, melindungi dan
memulihkan hutan, dan memperkuat pengelolaan hutan. Sebelum hal ini bisa
berjalan, Indonesia membutuhkan data yang lebih baik dan lebih transparan
tentang pemanfaatan hutan, undang-undang kehutanan yang lebih baik dengan
penegakan hukum yang konsisten, pengakuan hak-hak masyarakat, iklim usaha yang
sehat dan kompetitif, dan lembaga kehutanan yang lebih kuat.
“Kelemahan pelaksanaan
tata kelola hutan oleh pemerintah secara tidak langsung telah menciptakan ruang
untuk praktik-prkatik korupsi,” lanjut laporan tersebut. “Sistem hukum,
politik, dan ekonomi yang korup dan tidak transparan yang memandang sumber daya
hutan hanya sebagai sumber pendapatan dan keuntungan, berkontribusi besar
terhadap degradasi hutan di Indonesia. Kesenjangan karena peran dan
kapasitas briorkrat yang kurang baik dalam melaksanakan fungsi pengawasan
memberikan kesempatan bagi para pemain bidang kehutanan yang tidak bermoral
untuk mengeksploitasi sumber daya hutan secara destruktif. ”
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar