Selasa, 05 Januari 2016

Lima Paket Kebijakan Ekonomi

Dimensi Lima Paket Kebijakan Ekonomi

Presiden Joko Widodo  bersama sejumlah menteri, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan sebelum mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap I di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (9/9). Paket kebijakan ekonomi tersebut untuk  menciptakan ekonomi makro yang kondusif, menggerakkan ekonomi nasional, dan melindungi masyarakat berpendapatan rendah, dan menggerakkan ekonomi pedesaan.
Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan sebelum mengumumkan paket kebijakan ekonomi tahap I di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (9/9). Paket kebijakan ekonomi tersebut untuk menciptakan ekonomi makro yang kondusif, menggerakkan ekonomi nasional, dan melindungi masyarakat berpendapatan rendah, dan menggerakkan ekonomi pedesaan.
Presiden Joko Widodo menyatakan paket kebijakan ekonomi akan terus digulirkan pemerintah hingga jumlahnya mencapai ratusan. Dalam dua bulan (September-Oktober) sudah lima paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan. Pemerintah ingin memberikan pesan yang kuat mengenai keseriusan mengatasi krisis ekonomi global dan perlambatan perekonomian domestik.

Paket kebijakan ekonomi yang pertama dikeluarkan pada 9 September 2015. Pada paket jilid pertama ini pemerintah menitikberatkan kebijakan deregulasi untuk menggerakkan sektor riil dalam mengantisipasi dampak krisis global dan melindungi masyarakat yang berpendapatan rendah.
Kebijakan deregulasi mencakup 98 peraturan untuk menghilangkan duplikasi, memperkuat koherensi dan konsistensi, serta memangkas peraturan yang tidak relevan atau menghambat daya saing industri. Untuk itu akan disiapkan 17 rancangan peraturan pemerintah, 11 rancangan peraturan presiden, 2 rancangan instruksi presiden, 63 rancangan peraturan menteri, dan 5 aturan lainnya yang akan selesai hingga Oktober 2015.
Untuk mengatasi dampak perlambatan ekonomi terhadap kemampuan daya beli masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah, pemerintah lewat Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan paket kebijakan moneter. Paket tersebut intinya berupaya mengendalikan inflasi. Juga menstabilkan nilai tukar rupiah serta mengelola pasokan dan permintaan valuta asing.
Pemerintah juga memperkuat daya beli masyarakat dengan mengarahkan dana desa untuk infrastruktur di pedesaan. Langkah ini diharapkan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat desa. Selain itu, pemerintah juga menggulirkan program pengadaan konverter elpiji untuk nelayan. Pemerintah bermaksud membantu nelayan menghemat penggunaan bahan bakar dan dapat meningkatkan produksi ikan tangkap.
Kebijakan deregulasi berlanjut ke paket jilid dua yang dikeluarkan pada 29 September 2015. Pada paket kedua ini kebijakan deregulasi difokuskan untuk memperbaiki iklim investasi dan tetap menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Iklim investasi diperbaiki dengan meringkas waktu proses perizinan. Proses perizinan yang memakan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan, akan dipangkas menjadi tiga jam. Izin investasi tersebut mencakup tiga dokumen, yaitu izin prinsip, akta pendirian perusahaan, serta penerbitan nomor pokok wajib pajak. Fasilitas perizinan tersebut ditujukan bagi investor yang menanamkan modal di kawasan industri minimal Rp 100 miliar atau mempekerjakan 1.000 pekerja.
Ada beberapa kebijakan deregulasi lain seperti penyederhanaan prosedur terkait pengajuan permohonan pembebasan pajak dan pengurangan pajak. Juga insentif bagi eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor di perbankan yang beroperasi di dalam negeri. Tujuannya agar devisa hasil ekspor tetap berada di Tanah Air.
Paket Oktober
Tiga paket selanjutnya dikeluarkan pemerintah pada Oktober 2015. Pada paket kebijakan ekonomi jilid tiga yang dikeluarkan pada 7 Oktober pemerintah secara rinci mengeluarkan arahan yang lebih konkret untuk menjaga iklim investasi, menekan biaya izin usaha, dan menjaga daya beli masyarakat. Kebijakan-kebijakan menyasar sektor riil, energi, pertanahan, dan keuangan.
Kelompok pelaku usaha atau kalangan industri tetap menjadi perhatian pemerintah supaya tetap berdaya di masa krisis. Selain kebijakan penyederhanaan izin, mereka pun dihadiahi pengurangan tarif listrik dan harga gas, serta dimudahkan aksesnya ke kredit perbankan dengan menurunkan tingkat bunga kredit usaha.
Kelompok masyarakat berpendapatan rendah tak terkecuali. Meski harga bahan bakar premium tidak diturunkan, harga solar bersubsidi turun Rp 200 per liter menjadi Rp 6.700 per liter. Harga berlaku setelah tiga hari pengumuman. Selain itu, diluncurkan pula skema asuransi pertanian untuk menjaga petani tetap memiliki pemasukan di saat mengalami kesulitan yang disebabkan faktor cuaca.
Kalangan buruh menjadi titik berat pemerintah pada paket kebijakan ekonomi jilid empat yang dikeluarkan pemerintah pada 15 Oktober. Pemerintah merumuskan formula sistem pengupahan dengan memasukkan variabel persentase inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Upah buruh akan naik setiap tahun dengan besaran yang terukur.
Formula penghitungan upah minimum adalah UMP tahun berjalan ditambah dengan perkalian UMP tahun berjalan dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi tahun berjalan. Tetapi, formula baru ini tidak akan diberlakukan pada 8 provinsi yang upah minimumnya belum memenuhi 100 persen kebutuhan hidup layak. Terkait formula upah ini, pada 26 Oktober 2015 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Tambahan dalam paket keempat ini adalah mengoptimalkan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dengan memberikan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah yang berorientasi ekspor, tetapi kesulitan modal. Kredit akan diberikan maksimal Rp 50 miliar per perusahaan yang merupakan UMKM yang mempekerjakan minimal 50 orang buruh.
Presiden Joko Widodo  dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Rapat Terbatas  bersama sejumlah menteri Kabinet Kerja di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (22/10). Rapat tersebut membahas perihal paket kebijakan ekonomi V.Dari kanan ke kiri: Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Gubernur BI Agus Martowardojo, Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Ketua OJK Muliaman D Hadad saat memberikan keterangan kepada wartawan terkait dengan dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi V di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (22/10). Salah satu isi kebijakan dari paket tersebut adalah revaluasi aset perusahaan baik BUMN maupun swasta.

Pada paket kebijakan ekonomi jilid lima yang dikeluarkan pada 22 Oktober, pemerintah masih menyasar kalangan usaha dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang merevaluasi aset. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan kapasitas dan performa finansial perusahaan. Selain itu, juga ditawarkan penghilangan pajak ganda untuk instrumen keuangan Kontrak Investasi Kolektif-Dana Investasi Real Estate (KIK-DIRE)
Implementasi konsisten
Pernyataan presiden bahwa akan banyak (ratusan) kebijakan lain yang akan diterbitkan bisa dimaknai dalam kerangka menjaga pertumbuhan ekonomi tetap baik dalam rentang waktu yang tidak diketahui sampai kapan krisis akan berakhir. Kalangan pelaku usaha harus tetap berproduksi dan masyarakat (terutama petani dan nelayan) tetap mampu menjaga konsumsinya.
Namun, perhatian sebaiknya tidak semata ditujukan kepada investor besar atau yang berorientasi ekspor. Kebijakan diperlukan juga bagi investor kecil atau yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan domestik. Hal itu karena kebutuhan domestik yang dipenuhi sendiri akan menekan impor barang. Manfaatnya akan dapat menurunkan defisit transaksi berjalan kita.
Di satu sisi, banyaknya kebijakan yang akan diterbitkan bisa dipandang sebagai antisipasi pemerintah terhadap situasi yang gampang berubah di kala krisis global seperti sekarang. Namun, di sisi lain, jangan sampai terjebak pada kebijakan business as usual yang tidak memberikan gereget yang berarti.
Kalangan pelaku usaha mengapresiasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Namun, mereka sangat membutuhkan implementasi di lapangan yang konsisten dan terukur. Selain itu, banyaknya kebijakan yang dikeluarkan jangan sampai mengaburkan atau memperlemah aspek monitoring dan evaluasi setiap kebijakan. Apalagi, jika malah menyuburkan para pemburu rente dalam perumusan payung hukum perundang-undangan atau pada peluncuran skema program baru.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar