Selasa, 13 Januari 2015

Ancaman Lingkungan Sulut, dari Tambang, Reklamasi Pantai hingga Sawit

Ancaman Lingkungan Sulut, dari Tambang, Reklamasi Pantai hingga Sawit

Kondisi Pulau Bangka, pada pertengahan Desember 2014. Kerusakan alam makin meluas dampak operasi tambang. Foto: Save Bangka Island
Kondisi Pulau Bangka, pada pertengahan Desember 2014. Kerusakan alam makin meluas dampak operasi tambang. Foto: Save Bangka Island
Sejumlah masalah lingkungan di Sulawesi Utara (Sulut) masih berlanjut tahun ini dari pertambangan, reklamasi pantai, hingga perkebunan sawit. Parah lagi, program pembangunan yang sedang dan akan berlangsung, tidak melibatkan partisipasi masyarakat, sebagai pihak terdampak. Demikian dikatakan Edo Rakhman, Manajer Kampanye Walhi Nasional.
Menurut dia, pertambangan bijih besi di Pulau Bangka. Meski masyarakat menolak dan memenangkan proses hukum sampai Mahkamah Agung, pemerintah daerah tetap memberi dukungan pada PT Mikgro Metal Perdana (MMP).
Penolakan terjadi lewat berbagai cara. Di Jakarta, Walhi melibatkan diri dalam proses gugatan, MMP menjadi tergugat intervensi. Mereka juga membuka komunikasi dengan Siti Nurabaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menteri memerintahkan inspektorat investigasi kasus ini.
“Menteri ESDM berkomitmen kasus ini tidak boleh diteruskan dan segera diperjelas, termasuk melihat dari regulasi. Misal, kekuatan hukum gubernur dan bupati kenapa sampai mempertahankan pertambangan di Bangka,” katanya di sela-sela Konsultasi Daerah Lingkungah Hidup, di Manado, Kamis (8/1/15).
Menurut dia, maslaah Pulau Bangka juga disuarakan di level internasional. “Ketika pertemuan COP 20 di Peru, saya menggambarkan, di Indonesia, tambang tidak hanya hadir di daratan, juga mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil, salah Pulau Bangka.”
Ahmad, Kepala Departemen Keorganisasian Walhi Nasional, menyatakan, pertambangan merupakan usaha padat modal dan berteknologi tinggi. Hingga, aktivitas di Bangka justru menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemerintah daerah.
Dia menantang, pemerintah Sulut membuka dokumen pendapatan riil dari tambang, jika menilai sektor ini meningkatkan pendapatan daerah. “Kalau dinilai mendatangkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, kami meminta pemerintah daerah membandingkan antara kerusakan yang ditimbulkan dengan hasil tambang.”
Ahmad menilai, Sulut sebenarnya memiliki cita-cita baik sebagai daerah pariwisata dunia. Seharusnya, penekanan pembangunan diarahkan ke sana. “Tentu pariwisata berkelanjutan, bukan eksploitatif, lapar lahan dan menggusur mata pencaharian masyarakat. Pulau Bangka, lokasi luar biasa untuk pariwisata.”
Oariwisata berkelanjutan, katanya,  dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat, bukan membebankan pada investasi besar. “Merupakan sesuatu sesat pikir jika melihat pariwisata dari hotel mewah, resort besar, kemudian turis akan datang. Tidak.”
Desa tiberias di Bolaang Mongondow. Kebun kelapa pelahan mulai diselingi  sawit. Foto: Themmy Doaly
Desa Tiberias di Bolaang Mongondow. Kebun kelapa pelahan mulai diselingi sawit. Foto: Themmy Doaly
Reklamasi Pantai Kalasey dan Tanjung Merah
Pada 2015, reklamasi kembali mengancam kehidupan warga pesisir dan ekosistem bawah laut Sulut, yakni di Pantai Kalasey, Minahasa, dan Tanjung Merah, Bitung.
Reklamasi Kalasey sebenarnya sempat dihentikan pada 2011 karena penimbunan mengancam ekosistem laut, seperti terumbu karang, mangrove maupun padang lamun. Publik juga mempersoalkan izin dan dokumen Amdal, karena hanya menggunakan izin UKL-UPL, padahal wajib Amdal.
“Menghindari wajib Amdal, maka pengembang memecah diri menjadi tiga grup, hingga luasan reklamasi masing-masing menjadi 20 hektar. Awalnya 60 hektar,” kata Edo.
Dia menyayangkan, reklamasi akan berlanjut di Kalasey. Sejak pemberhentian penimbunan, pemerintah daerah seharusnya evaluasi. Tidak semata-mata karena investor mengantongi Amdal, penimbunan kembali berjalan.
“Pemerintah harus melihat banyak masyarakat dirugikan. Kalau klaim meningkatkan perekonomian, kami juga bisa mengeluarkan antitesis. Sesungguhnya reklamasi Kalasey menutup akses nelayan. Belum lagi menghitung kerusakan biodiversitas. Kerugian jauh lebih besar.”
Sedang reklamasi di Tanjung Merah masuk MP3EI, Bitung sebagai kawasan ekonomi khusus. Total luasan lahan reklamasi 1.000 hektar.
Walhi melihat, KEK Bitung berpotensi menggusur kehidupan nelayan tradisional. Kerusakan lingkungan dan pemiskinan nelayan berpotensi terjadi dampak reklamasi di sana. “Akan banyak pelanggaran HAM terjadi seperti konflik tanah ataupun sumber daya alam.”
Sawit di Bolaang Mongondow
Berdasarkan catatan Walhi Sulut, perkebunan sawit mulai merambah Bolaang Mongondow (Bolmong). Sebenarnya, informasi rencana perkebunan sawit sejak 2009, namun simpang-siur.
Saat ini, ada sembilan perusahaan sawit beroperasi di Bolmong, PT Anugrah Bolmong Indah, PT Anugrah Sulawesi Indah, PT Bol Indah Utama, PT Bol Indah Perkasa, PT Global Internasional Indah, PT Inobonto Indah Perkasa, PT Karunia Kasih Indah, PT Sino Global Perkasa, PT Tomini Indah Perkasa.
Sembilan perusahaan tadi tergabung dalam kelompok usaha IZZISEN Group, dengan total perkebunan 79.150,30 hektar. Dari luasan itu, 20% kebun plasma dan 80% inti.
“Sembilan perusahan itu telah pembibitan dan tahap pembayaran tanah. Kami terus investigasi, terutama dampak sosial dan lingkungan perkebunan sawit ini,” kata Angelin Palit, Direktur Eksekutif Walhi Sulut.
Perkebunan sawit skala besar diyakini tidak membawa kesejahteraan masyarakat. Sawit rakus air dan tidak memberi keuntungan signifikan bagi pemerintah daerah. Perkebunan sawit diduga berkontribusi terhadap kerusakan mangrove di Bolmong.
Tepian pantai di Pulau Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan tambang mulai beroperasi . Foto: Themmy Doaly
Tepian pantai di Pulau Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan tambang mulai beroperasi . Foto: Save Bangka Island


Tidak ada komentar:

Posting Komentar