Minggu, 25 Januari 2015

Freeport Keruk Tambang Bawah Tanah Pakai Teknologi Robotik

Freeport Keruk Tambang Bawah Tanah Pakai Teknologi Robotik
on Jan 25, 2015 at 18:15 WIB
Tambang Freeport(Foto:Liputan6.com/Pebrianto Wicaksono)
Liputan6.com, Jakarta - PT Freeport Indonesia berencana membenamkan modal untuk mengembangkan tambang bawah tanah (underground mining) di Papua senilai US$ 15 miliar.

Ini merupakan investasi tambahan perusahaan tambang raksasa asal Amerika Serikat (AS), selain di pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik, Jawa Timur.

"Kami tanamkan US$ 15 miliar untuk proyek underground mining. Ini bentuk komitmen kami prioritas pada Papua dan memberikan nilai tambah kepada bangsa dan negara ini," ujar Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Minggu (25/1/2015).
Selain itu, lanjut dia, Freeport Indonesia bakal merealisasikan pembangunan smelter senilai US$ 2,3 miliar di Gresik, Jawa Timur. Pihaknya telah menjalin kerjasama dengan Mitsubishi Materials Corp dalam pembangunan proyek tersebut.
"Kami menggandeng Mitsubishi Materials Corp untuk memproses 1 juta ton konsentrat per tahun. Ke depan akan menjadi 2 juta per tahun. Dan kalau tahun ini smelter bisa terealisasi, mencapai 3 juta ton," terangnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan investasi pengembangan tambang bawah tanah dan smelter dari Freeport akan memberikan dampak luar biasa bagi Papua.
Lantaran, anak usaha Freeport-McMoran Cold & Copper ini akan menggunakanteknologi robotik dalam pengoperasian tambang bawah tanah tersebut.
"Sekarang masih garap tambang di atas, nah nantinya tambang bawah tanah semua otomatis penuh. Kendaraan yang keluar masuk di lokasi tambang menggunakan remote control atau sangat maju," papar Sudirman.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM R. Sukhyar mengatakan, dengan memproses konsentrat 1,3 juta ton, pendapatan Freeport Indonesia dapat mencapai US$ 3,3 miliar dan akan meningkat apabila pemrosesan konsentrat bisa menembus 2 juta ton di 2015 menjadi US$ 4,7 miliar. "Jadi sekarang ini US$ 3.000 per ton konsentrat," imbuhnya. (Fik/Ahm)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar