Ancaman
Lingkungan Sulut, dari Tambang, Reklamasi Pantai hingga Sawit
Kondisi Pulau Bangka,
pada pertengahan Desember 2014. Kerusakan alam makin meluas dampak operasi
tambang. Foto: Save Bangka Island
Sejumlah masalah lingkungan
di Sulawesi Utara (Sulut) masih berlanjut tahun ini dari pertambangan,
reklamasi pantai, hingga perkebunan sawit. Parah lagi, program pembangunan yang
sedang dan akan berlangsung, tidak melibatkan partisipasi masyarakat, sebagai
pihak terdampak. Demikian dikatakan Edo Rakhman, Manajer Kampanye Walhi
Nasional.
Menurut dia,
pertambangan bijih besi di Pulau Bangka. Meski masyarakat menolak dan
memenangkan proses hukum sampai Mahkamah Agung, pemerintah daerah tetap memberi
dukungan pada PT Mikgro Metal Perdana (MMP).
Penolakan terjadi
lewat berbagai cara. Di Jakarta, Walhi melibatkan diri dalam proses gugatan,
MMP menjadi tergugat intervensi. Mereka juga membuka komunikasi dengan Siti
Nurabaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menteri memerintahkan
inspektorat investigasi kasus ini.
“Menteri ESDM
berkomitmen kasus ini tidak boleh diteruskan dan segera diperjelas, termasuk
melihat dari regulasi. Misal, kekuatan hukum gubernur dan bupati kenapa sampai
mempertahankan pertambangan di Bangka,” katanya di sela-sela Konsultasi Daerah
Lingkungah Hidup, di Manado, Kamis (8/1/15).
Menurut dia, maslaah
Pulau Bangka juga disuarakan di level internasional. “Ketika pertemuan COP 20
di Peru, saya menggambarkan, di Indonesia, tambang tidak hanya hadir di daratan,
juga mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil, salah Pulau Bangka.”
Ahmad, Kepala
Departemen Keorganisasian Walhi Nasional, menyatakan, pertambangan merupakan
usaha padat modal dan berteknologi tinggi. Hingga, aktivitas di Bangka justru
menimbulkan kerugian ekonomi bagi pemerintah daerah.
Dia menantang,
pemerintah Sulut membuka dokumen pendapatan riil dari tambang, jika menilai
sektor ini meningkatkan pendapatan daerah. “Kalau dinilai mendatangkan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat, kami meminta pemerintah daerah membandingkan antara
kerusakan yang ditimbulkan dengan hasil tambang.”
Ahmad menilai, Sulut
sebenarnya memiliki cita-cita baik sebagai daerah pariwisata dunia. Seharusnya,
penekanan pembangunan diarahkan ke sana. “Tentu pariwisata berkelanjutan, bukan
eksploitatif, lapar lahan dan menggusur mata pencaharian masyarakat. Pulau
Bangka, lokasi luar biasa untuk pariwisata.”
Oariwisata
berkelanjutan, katanya, dapat dilihat dari keterlibatan masyarakat, bukan
membebankan pada investasi besar. “Merupakan sesuatu sesat pikir jika melihat
pariwisata dari hotel mewah, resort besar, kemudian turis akan datang. Tidak.”
Desa Tiberias di
Bolaang Mongondow. Kebun kelapa pelahan mulai diselingi sawit. Foto: Themmy
Doaly
Reklamasi Pantai Kalasey dan
Tanjung Merah
Pada 2015, reklamasi
kembali mengancam kehidupan warga pesisir dan ekosistem bawah laut Sulut, yakni
di Pantai Kalasey, Minahasa, dan Tanjung Merah, Bitung.
Reklamasi Kalasey
sebenarnya sempat dihentikan pada 2011 karena penimbunan mengancam ekosistem
laut, seperti terumbu karang, mangrove maupun padang lamun. Publik juga
mempersoalkan izin dan dokumen Amdal, karena hanya menggunakan izin UKL-UPL,
padahal wajib Amdal.
“Menghindari wajib
Amdal, maka pengembang memecah diri menjadi tiga grup, hingga luasan reklamasi
masing-masing menjadi 20 hektar. Awalnya 60 hektar,” kata Edo.
Dia menyayangkan,
reklamasi akan berlanjut di Kalasey. Sejak pemberhentian penimbunan, pemerintah
daerah seharusnya evaluasi. Tidak semata-mata karena investor mengantongi
Amdal, penimbunan kembali berjalan.
“Pemerintah harus
melihat banyak masyarakat dirugikan. Kalau klaim meningkatkan perekonomian,
kami juga bisa mengeluarkan antitesis. Sesungguhnya reklamasi Kalasey menutup
akses nelayan. Belum lagi menghitung kerusakan biodiversitas. Kerugian jauh
lebih besar.”
Sedang reklamasi di
Tanjung Merah masuk MP3EI, Bitung sebagai kawasan ekonomi khusus. Total luasan
lahan reklamasi 1.000 hektar.
Walhi melihat, KEK
Bitung berpotensi menggusur kehidupan nelayan tradisional. Kerusakan lingkungan
dan pemiskinan nelayan berpotensi terjadi dampak reklamasi di sana. “Akan
banyak pelanggaran HAM terjadi seperti konflik tanah ataupun sumber daya alam.”
Sawit di Bolaang Mongondow
Berdasarkan catatan
Walhi Sulut, perkebunan sawit mulai merambah Bolaang Mongondow (Bolmong).
Sebenarnya, informasi rencana perkebunan sawit sejak 2009, namun simpang-siur.
Saat ini, ada sembilan
perusahaan sawit beroperasi di Bolmong, PT Anugrah Bolmong Indah, PT Anugrah
Sulawesi Indah, PT Bol Indah Utama, PT Bol Indah Perkasa, PT Global
Internasional Indah, PT Inobonto Indah Perkasa, PT Karunia Kasih Indah, PT Sino
Global Perkasa, PT Tomini Indah Perkasa.
Sembilan perusahaan
tadi tergabung dalam kelompok usaha IZZISEN Group, dengan total perkebunan
79.150,30 hektar. Dari luasan itu, 20% kebun plasma dan 80% inti.
“Sembilan perusahan
itu telah pembibitan dan tahap pembayaran tanah. Kami terus investigasi,
terutama dampak sosial dan lingkungan perkebunan sawit ini,” kata Angelin
Palit, Direktur Eksekutif Walhi Sulut.
Perkebunan sawit skala
besar diyakini tidak membawa kesejahteraan masyarakat. Sawit rakus air dan
tidak memberi keuntungan signifikan bagi pemerintah daerah. Perkebunan sawit
diduga berkontribusi terhadap kerusakan mangrove di Bolmong.
Tepian pantai di Pulau
Bangka, mulai botak. Air laut di tepian pun mulai keruh karena perusahaan
tambang mulai beroperasi . Foto: Save Bangka Island
Tidak ada komentar:
Posting Komentar